Rabu, 10 September 2014

PERLAWANAN TERHADAP KOLONIAL BELANDA

Perlawanan Terhadap Belanda


 
 
 
 
PERLAWANAN TERHADAP KOLONIAL BELANDA
    A.      Berlangsungnya Penjajahan Belanda di Nusantara
Kedudukan Belanda di Nusantara berlangsung antara 1596-1942 diawali dengan kedatangan armada dagang Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman pada tahun 1596 yang berlabuh di Banten. Mulanya mencari barang dagangan atau rempah rempah akan tetapi kemudian Belanda bukan sekedar ingin berdagang biasa, melainkan ingin menguasai dan menjajah Nusantara. Tahun 1596 awal penjajahan Belanda di Nusantara dengan mendirikan persekutuan dagang yang bernama VOC (Vereeningde Oost-indische Compagnie) atau persekutuaan dagang  India timur yang dibantu oleh pemerintahan Belanda. VOC menguasai dan mengekploitasi ekonomi di Indonesia dari tahun 1602 – 1799.
Ketika terjadi peselisihan antara pangeran Jayakarta dan Banten dengan Belanda pada tahun 1619, kota Jayakarta dibakar oleh Belanda dibawah pmpinan Jan Pieterzoon Coen. Tahun 1619 Belanda membangun kota di atas puing-puing Jayakarta yang diberi nama Batavia. Kekuasaan Belanda tahun 1799 diambil alih oleh pemerintah Belanda dari VOC. VOC mengalami kerugian yang besar yang menyebabkan kebangkrutan dan dibubarkan. Sebelumnya penjajahan Belanda atas Indonesia dilakukan oleh VOC, sejak tahun 1799 secara resmi dilakukan oleh pemerintahan Belanda.
Berdasarkan convention of london 1814 Belanda berkuasa kembali di Indonesia setelah sempat sebelumnya tahun 1811 Inggris menyerang Hindia Belanda menaklukkan kota Batavia. Jendral Belanda Jansens menyerah tanpa syarat kepada Inggris. Tahun 1814 Inggris mengembalikan semua daerah jajahan Belanda ke pihak Belanda lagi. Peristiwa ini karena kalahnya Napoleon Bonapoarte kaisar Prancis dalam pertempuran di Leipzing Inggris menyerahkan Indonesia pada Belanda pada tahun 1816  saat itu yang menjadi pemimpin Inggris di Indonesia adalah Letnan Gubernur Jhon Fendhal. Penjajahan dan eksploitasi manusia dan sumber daya alam manusia dimulai lagi oleh pemerintah Belanda. Sistem eksploitasi yang dilakukan oleh Belanda disebut sistem tanan paksa. Pada masa dimana modal modal swasta liberal masuk ke Indonesia dan masa penerapan politik etis.
B.       Perlawanan Terhadap Pemerintahan Hindia-Belanda
Sewenang-wenang yang dilakukan VOC ternyata kembali dilanjutkan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Hal ini menyebabkan kemarahan rakyat hingga akhirnya terjadilah pemberontakan yang dilakukan beberapa daerah berikut.
1.    Perlawanan rakyat Maluku dibawah pimpinan Pattimura (1817)
Secara umum penyebab terjadinya  perlawanan rakyat Maluku ini adalah karena adanya beberapa prahara seperti penduduk wajib kerja paksa untuk kepentingan Belanda misalnya di perkebunan-perkebunan dan membuat garam, penyerahan wajib berupa ikan asin, dendeng dan kopi, banyak guru dan pegawai pemerintah diberhentikan dan sekolah hanya dibuka di kota-kota besar saja, jumlah pendeta dikurangi sehingga kegaitan menjalankan ibadah menjadi terhalang. Secara khusus yang menyebabkan kemarahan rakyat adalah penolakan Residen Van den Berg terhadap tuntutan rakyat untuk membayar harga perahu yang dipisah sesuai dengan harga sebenarnya.
Pada tahun 1817 rakyat Saparua mengadakan pertemuan dan menyepakati untuk memilih Thomas Matulessy (Kapitan Pattimura) untuk memimpin perlawanan. Keesokan harinya mereka berhasil merebut benteng Duurstede di Saparua sehingga residen Van den Berg tewas. Selain Pattimura tokoh lainnya adalah Paulus Tiahahu dan puterinya Christina Martha Tiahahu. Anthoni Reoak, Phillip Lattumahina, Said Perintah dan lain-lain. Perlawanan juga berkobar di pulau-pulau lain yaitu Hitu, Nusalaut dan Haruku penduduk berusaha merebut benteng Zeeeland.
Untuk merebut kembali benteng Duurstede, pasukan Belanda didatangkan dari Ambon dibawah pimpinan Mayor Beetjes namun pendaratannya digagalkan oleh penduduk dan Mayor Beetjes tewas. Pada bulan Nopember 1817 Belanda mengerahkan tentara besar-besaran dan melakukan sergapan pada malam hari Pattimura dan kawan-kawannya tertangkap. Mereka menjalani hukuman gantung pada bulan Desember 1817 di Ambon. Paulus Tiahahu tertangkap dan menjalani hukuman gantung di Nusalaut. Christina Martha Tiahahu dibuang ke pulau Jawa. Selama perjalanan ia tutup mulut dan mogok makan yang menyebabkan sakit dan meninggal dunia dalam pelayaran pada awal Januari tahun 1818.
Sejak Belanda berkuasa di Maluku rakyat menjadi sengsara, sehingga rakyat semakin benci, dendam kepada Belanda. Dibawah pimpinan Pattimura (Thomas Matualessi) rakyat Maluku bangkit melawan Belanda tahun 1817 dan berhasil menduduki Benteng Duursted dan membunuh Residen Van Den Berg. Belanda kemudian minta bantuan ke Batavia, sehingga perlawanan Pattimura dapat dipatahkan, Pattimura kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung bulan Desember 1817. Dalam perjuangan rakyat Maluku ini juga terdapat seorang pejuang wanita yang bernama Christina Martha Tiahahu.
2.    Perang Paderi (1821 – 1838)
Pada mulanya Perang Paderi merupakan perang antara kaum adat dan kaum ulama. Yang disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat antara kaum ulama dengan kaum adat. Kaum  ulama terpengaruh gerakan Wahabi menghendaki pelaksanaan Ajaran Agama Islam berdasarkan Al’Quran dan Hadist. Kaum ulama ingin memberantas kebiasaan buruk yang dilakukan kaum adat, seperti berjudi, menyambung ayam dan mabuk.
Karena terdesak kaum adat minta bantuan kepada Belanda, tetapi kemudian kaum adat sadar bahwa Belanda ingin menguasai Sumatera Barat, kemudian kaum adat bersatu dengan kaum Paderi untuk menghadapi Belanda, karena terdesak Belanda mengirim bantuan dari Pulau Jawa yang diperkuat oleh Pasukan Sentot Ali Basa Prawirodirjo, tapi kemudian Sentot Ali Basa Prawirodirjo berpihak kepada kaum Paderi sehingga Sentot Ali Basa Prawirodirjo ditangkap dan dibuang ke Cianjur. Dengan siasat Benteng Stelsel pada tahun 1837 Belanda mengepung Bonjol, sehingga Imam Bonjol ditangkap dan dibuang ke Cianjur kemudian dipindahkan ke Manado hingga wafat tahun 1864.
3.    Perlawan Pangeran Diponogoro (1825 – 1830)
Penyebab   terjadinya perlawanan Diponogoro ini adalah karena Keraton merasa dihina dan diturunkan martabatnya akibat pemerintah kolonial Belanda terlalu jauh mencampuri urusan dalam keraton. Penderitaan rakyat yang makin menghebat akibat pelakuan pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Kekecewaan kaum ulama terhadap sikap orang-orang Belanda yang merendahkan budaya Timur dan menjujung tinggi budaya Barat, dan pembuatan jalan Yogyakarta-Magelang yang melalui makam leluhur Pangeran Diponegero di Tegalrejo tanpa izin.
Ada pun  tokoh-tokoh perlawanan ini adalah :
·      Pangeran Diponegoro
·      Suryomataram
·      Ario Prangwadono
·      Pangeran Serang
·      Notoprojo
·      Sentot Prawirodirjo
·      Pangeran Ariokusmo
·      Kiai Mojo
Dalam perang ini Diponegoro menggunakan siasat perang gerilya yang didukung oleh kaum bangsawan dan ulama serta bupati, antara lain Kyai Mojo dan Sentot Ali Basa Prawirodirjo. Sementara Belanda menggunakan siasat Benteng Stelsel yang bertujuan untuk mempersempit gerak Pasukan Diponegoro. Pasukan Diponegoro semakin lemah terlebih lagi pada tahun 1829 Kyai Mojo dan Sentot Ali Basa memisahkan diri. Lemahnya pasukan Diponegoro menyebabkan Diponegoro menerima tawaran Belanda untuk berunding di Magelang, dalam perundingan ini pihak Belanda diwakili oleh Jenderal De Kock namum perundingan mengalami kegagalan dan Diponegoro di tangkap dan dibawa ke Batavia, selanjutnya dipindahkan ke Manado kemudian dipindahkan lagi ke Makasar dan meninggal di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
4.    Perlawanan Rakyat Sulawesi Selatan
Penyebab terjadinya perlawanan ini bermula dari berakhirnya pemerintahan Inggris menyebabkan Belanda kembali ke Sulawesi Selatan. Belanda menghadapi kondisi yang kurang memuaskan. Oleh karena itu Belanda mengundang raja-raja Sulawesi Selatan  untuk meninjau kembali perjanjian Bongaya yang tidak sesuai lagi dengan sistem pemerintahan imprealisme. Pertemuan tersebut hanya dihadiri Raja Gowa dan Sindereng. Pada tahun 1824, Belanda menyerang Ternate dan berhasil menguasainya. Selain Ternate Belanda juga menyerang Kerajaan Suppa yang dibantu oleh pasukan dari Gowa dan Sindereng yang dimenangkan oleh Belanda. Pasukan Bone yang menghancurkan pos-pos Belanda di Pangkajene, Labakang, dan merebut kembali Ternatte. Oleh karena itu kekuatan Bone makin besar dan daerah kekuasannya makin luas.Di sisi lain, kedudukan Belanda di Makassar makin lemah. Oleh karena itu, Belanda meminta tolong kepada Batavia. Hal ini jelas melemahkan pasukan Bone. 
Tokoh-tokoh dari perlawanan ini adalah Raja Bone, Raja Ternate, Raja Suppa. Pertempuran terus berkobar dan pasukan Bone bertahan mati-matian. Karena kalah dalam persenjataan, pasukan Bone makin terdesak. Benteng Bone yang terkuat di Bulukumba dapat dikuasai oleh Belanda. Dengan jatuhnya Bone, perlawanan rakyat makin melemah. Namun, pertempuran-pertempuran kecil masih terus berlangsung hingga awal abad ke-20.
5.    Perlawanan Rakyat Bali
Bangkitnya perlawanan rakyat Bali terhadap Belanda disebabkan oleh adanya Hak Tawan Karang yaitu suatu ketentuan bahwa setiap kapal yang terdampar diperairan Bali menjadi milik Raja Bali, dan sebab khusus menyangkut tuntutan Belanda terhadap raja-raja Bali yang ditolak berisi hak Tawan Karang dihapuskan, Raja harus memberi perlindungan terhadap pedagang-pedagang Belanda di Bali, dan Belanda minta diizinkan mengibarkan Bendera di Bali.
Tokoh-tokoh perlawanan Bali diantaranya :
·      I Gusti Jalantik
·      Patih Buleleng
·      Raja Bali
·      Raja Karang Ngasem
Jatuhnya kerajaan Buleleng, menyebabkan raja-raja Bali lainnya bersikap lunak terhadap Belanda, bahkan bersedia membantunya. Akhirnya kedua kerajaan tersebut jatuh ke tangan Belanda. Raja Buleleng dan I Gusti Ketut Jelantik meloloskan diri pada tahun 1849. Setelah kerajaan Buleleng dapat dikuasai, Belanda berusaha menaklukan kerajaan Bali lainnya. Hal ini memaksa para raja Bali mengambil alternatif terakhir untuk mempertahankan kehormatannya, yaitu perang puputan (perang terakhir sampai mati).
6.    Perlawanan Rakyat Aceh (1873-1904)
Perlawanan rakyat Aceh merupakan perlawanan yang paling lama dan juga terakhir bagi Belanda dalam rangka Pax Netherlandica. Perlawanan dipimpin oleh para Bangsawan (Tengku) dan para tokoh ulama (Teuku) seperti Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Panglima Polem, Cut Nyak Dien, Cut Mutia dan lain-lain.
Salah satu penyebab terjadinya peperangan karena Belanda melanggar Perjanjian Traktat London tahun 1824 yang berisi bahwa Inggris dan Belanda tidak boleh mengganggu kemerdekaan Aceh. Untuk menguasai Aceh, Belanda menggunakan cara seperti Konsentiasi Stelsel dan mendatangkan ahli Agama Islam yaitu Snouch Hurgronye. Cara ini dapat mempersempit ruang gerak pasukan Aceh dan dari Snouch Hurgronye Belanda mengetahui kehidupan rakyat Aceh dan cara-cara menaklukan Aceh. Sehingga akhirnya Aceh dapat dikuasai oleh Belanda, kemudian Raja-Raja didaerah yang berhasil dikuasai oleh Belanda diikat dengan Plakat Pendek yang isinya :
·      Mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya.
·      Tidak akan mengadakan hubungan dengan negara lain.
·      Taat dan patuh pada Pemerintah Belanda
7.    Perlawanan Rakyat Banjar
Penyebab dari pecahnya peperangan ini bermula saat Belanda dapat menjalin hubungan dengan Kerajaan Banjar pada masa pemerintahan sultan Adam. Setelah Sultan Adam wafat tahun 1857, Belanda mulai turut campur dalam urusan pergantian tahta kerajaan. Akibatnya, rakyat tidak menyukai Belanda. Belanda dengan sengaja dan sepihak melantik Pangeran Tamjid Illah sebagai sultan. Ditengah tengah perebutan tahta, meletuslah perang Banjar pada tahun 1859 dengan Pangeran Antasari sebagai pemimpinnya.
Tokoh-tokoh perlawanan :
·      Sultan Adam
·      Pangeran Antasari
·      Pangeran Hidayatulloh
·      Kiai Demang Lamang
·      H.Nasrun
·      H.Bayasin
·      Kiai Lalang
·      Gusti Matseman
Pangeran Antasari melakukan pertempuran bersama rakyat. Bahkan, pada bulan Maret 1862 Antasari diangkat menjadi Sultan dengan gelar Panembahana Amiruddin Khalifatul Mukminin. Setelah Pangeran Antasari meninggal, perjuangan dilanjutkan oleh putranya bernama Gusti Matseman namun, perlawanan rakyat Banjar makin hari makin melemah.
C.      Kelemahan perjuangan Bangsa Indonesia
1.    Bersifat lokal atau kedaerahan, artinya terbatas daerah tertentu saja. Tidak ada koordinasi antara pejuang satu daerah dengan daerah lain
2.    Perlawanan secara sporadic dan tidak serentak
3.    Perlawanan dipimpin oleh pimpinan kharismatik sehingga tidak ada yang melanjutkan
4.    Sebelum masa 1908 perlawanan menggunakan kekerasan senjata
5.    Para pejuang di adu domba oleh penjajah (devide et impera politik memecah belah bangsa Indonesia)
Belanda pertama kali datang di Indonesia di Banten pada tahun 1596. Pelayaran orang-orang Belanda pada saat itu dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Pada tahun 1598, untuk kedua kalinya armada Belanda datang ke Banten, dipimpin oleh Jacob van Neck dan van Waerwijk. Untuk memenangkan persaingan perdagangan, Belanda mendirikan Vereeningde Oost Indische Compagnie atau VOC, yang artinya Persatuan Dagang Hindia Timur. VOC didirikan pada 20 Maret 1602. Gubernur Jendral VOC yang pertama adalah Pieter Both. Tadinya, markas besar VOC ada di Ambon, Maluku, tetapi pada masa Gubernur Jendral Jan Pietezoon Coen, markasnya dipindah ke Jayakarta. Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara.

a. Perlawanan Rakyat Kesultanan Makassar
Sejak abad ke-17, Kesultanan Makassar telah menjadi negara maritim. Kesultanan Makassar telah menjalin hubungan perniagaan secara bebas dengan negera-negara di Eropa, seperti Denmark, Inggris, Perancis, dan Portugis. Sejak kehadiran VOC yang melaksanakan sistem monopoli dalam perdagangannya, perniagaan Makassar terganggu dan mengalami kemunduran. Oleh karena itu, Kesultanan Makassar sangat menentang monopoli tersebut dengan cara-cara berikut.
  • Makassar melakukan pembelian rempah-rempah secara sembunyi-sembunyi dari rakyat yang diduduki VOC, selain itu menyalurkan bahan-bahan kebutuhan pokok rakyat.
  • Makassar senantiasa menjual rempah-rempah kepada semua bangsa yang membutuhkan dan ingin membelinya.
  • Makassar turut membantu rakyat Maluku yang sedang berperang melawan VOC, seperti di Ternate dan Ambon.
VOC beranggapan bahwa Kesultanan Makassar harus ditaklukkan. Karena ada perselisihan antara Sultan Makassar, Hasannudin, dan Sultan Bone, Aru Palaka,  Belanda memanfaatkan hal ini untuk menyerang Makassar dengan hasutan dan politik adu domba yang licik. Tahun 1666, VOC melancarkan serangan hebat ke Makassar. Menghadapi serangan tersebut, Sultan Hasanuddin melakukan perlawanan yang gigih. Namun, karena kekuatan VOC dibantu oleh Aru Palaka jauh lebih besar, akhirnya pasukan Sultan Hasanuddin dipaksa menyerah. Sultan Hasanuddin menandatangani perjanjian dengan VOC tahun 1667 di Bongaya. Perjanjian itudinamakan Perjanjian Bongaya. Isi Perjanjian Bongaya tersebut ialah sebagai berikut.
  • Hasanuddin mengakui VOC sebagai pelindungnya
  • Kapal-kapal Makassar tidak boleh berlayar di Maluku
  • Makassar menjadi monopoli VOC
  • Bugis, Bima, dan Sumbawa diserahkan kepada VOC
  • Makassar diblokade VOC
Rakyat Makassar pada tahun 1669 kembali mengangkat senjata yang dipimpin oleh Kareang Galesung. Namun karena tidak seimbangnya persenjataan, akhirnya perlawanan gagal. Para pedagang dan pelaut Makassar yang tidak setuju dengan isi Perjanjian Bongaya menyingkir dari Makassar. Mereka menyebar ke berbagai tempat di nusantara dan selalu mengadakan perjuangan menentang VOC dengan cara:
  • Menggangu kapal-kapal dagang VOC yang sedang berlayar, dan
  • Membantu setiap perlawanan yang menentang VOC, seperti Banten dan beberapa tempat lainnya di Jawa Timur.
b. Perlawanan Rakyat Kesultanan Banten
Sekitar abad ke-16, Kesultanan Banten telah berkembang menjadi kerajaan yang besar dan berpengaruh. Wilayah kekuasaannya meliputi sekitar Banten, Jayakarta, sampai ke Lampung. Kebesaran Kerajaan Banten, tidak terlepas dari dikuasainya Selat Malaka oleh Portugis. Para pedagang Islam yang semula berlayar melalui Selat Malaka lebih memilih berlayar melalui Selat Sunda.  

Namun, setelah jatuhnya Jayakarta ke tangan VOC tahun 1619. Pelayaran dan perdagangan Kesultanan Banten secara perlahan-lahan mengalami kemunduran. Setiap kapal dagang yang berlayar melalui Laut Jayakarta selalu diperiksa dan dipaksa berlabuh di Jayakarta, terlebih lagi setelah jatuhnya Selat Malaka ke tangan VOC tahun 1641. Ketika Sultan Ageng Tirtayasa memerintah Banten (1651- 1682), Kesultanan Banten sedang berada dalam kemunduran. Sultan Ageng Tirtayasa berusaha memulihkan kejayaan Banten. Langkah yang dilakukannya ialah dengan menjalankan perdagangan bebas. Pelabuhan Banten kembali ramai dikunjungi oleh para pedagang seperti Portugis, Inggris, Perancis, dan Denmark. Sultan Ageng giat membangun perniagaan rakyat Banten, sehingga mampu melakukan perniagaan dengan negara-negara lain, seperti Persia, Arab, dan Cina.

Kemajuan Banten merupakan ancaman tersendiri bagi VOC, karena Banten memberlakukan perdagangan bebas. Sebaliknya,bercokolnya VOC di Jayakarta merupakan batu perintang yang besar bagi Banten. Hal ini karena kapal-kapal dagang yang akan berlabuh di Banten selalu diganggu oleh pelaut-pelaut VOC. Antara Banten dan VOC terlibat perang dingin dan saling mencari waktu yang tepat untuk menyerang.  

Sebaliknya, VOC lebih pandai memanfaatkan kesempatan yang terbuka. Ketika di Banten terjadi pertentangan antara Sultan Ageng dan Sultan Haji anaknya, secara diam-diam VOC menjalin hubungan dengan Sultan Haji. Sultan Haji tidak segan-segan berperang dengan Sultan Ageng ayahnya sendiri dan adik-adiknya dengan bantuan persenjataan dari VOC. Akhirnya, Sultan Ageng kalah dan turun tahta. Sebagai imbalan atas bantuan yang diberikannya, VOC menuntut Sultan Haji menandatangani perjanjian yang sangat merugikan rakyat Banten. Secara ringkas isi perjanjian itu sendiri seperti berikut.
  • Bangsa Inggris tidak boleh berniaga di Banten, karena waktuitu Inggris sering berlabuh dan berniaga di Banten.
  • Perdagangan Banten terutama ekspor lada dimonopoli oleh VOC.
Sejak perjanjian itu ditandatangani pada tahun 1682, Kesultanan Banten telah kehilangan kedaulatannya. Sultan Haji yang memerintah tidak lebih dari boneka yang menjalankan semua kebijakan VOC. Kesultanan Banten diperintah oleh Sultan Zainul Arifin pada tahun 1733 yang sangat dipengaruhi istrinya, yaitu Ratu Fatimah Syarifah, yang sangat populer di kalangan VOC.  Ratu Fatimah menghendaki menantunya, Pangeran Syarif Abdullah menjadi putra mahkota. Sultan Zainul Arifin yang dipengaruhi istrinya mengalah dan berniat mencabut kembali pengangkatan Pangeran Gusti yang telah dilakukannya. Untuk itu, Sultan Zainul Arifin meminta persetujuan VOC.

Memperoleh perlakuan seperti itu, tentu saja Pangeran Gusti tidak menerima. Pangeran Gusti oleh VOC dibuang ke Sailan (Srilangka). Sementara itu, Sultan Zainul Arifin ditangkap oleh VOC, dengan tuduhan tidak waras (gila), kemudian diasingkan ke Ambon. Sebagai pengganti Sultan Banten diangkatlah Ratu Fatimah Syarifah. Atas jasa menggulingkan Sultan Zainul Arifin dan Pangeran Gusti ini, VOC memperoleh imbalan berupa tanah di sekitar Cisadane, serta hak atas penambangan emas di Lampung.

Rakyat Banten tidak menerima kepemimpinan Ratu Fatimah Syarifah, sehingga akhirnya meletus pemberontakan Banten yang dipimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang. Pasukan
Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang menyerang ibu kota Banten dan mengepung istana, sehingga pasukan VOC kewalahan. VOC menyadari bahwa meletusnya perlawanan rakyat karena ketidaksenangannya terhadap kepemimpinan Ratu Syarifah dan Pangeran Syarif. Untuk itu, VOC menangkap Ratu Syarifah dan Pangeran Syarif dengan maksud untuk mengambil hati rakyat Banten. Meskipun keduanya telah ditangkap, tetapi perlawanan rakyat Banten terus berlanjut. Pasukan Ki Tapa terus bertempur mengusir VOC dari Banten. Namun, akhirnya, perlawanan Ki Tapa ini pun berhasil dilumpuhkan oleh VOC. Ki Tapa dan Ratau Bagus Buang menyingkir dan meneruskan perlawanannya di daerah Bogor dan Banten selatan.

c. Perlawanan Rakyat Mataram
Kesultanan Mataram berdiri pada tahun 1586 yang didirikan oleh Sutowijoyo. Pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645), Kesultanan Mataram mencapai puncak kejayaannya. Sultan Agung memiliki cita-cita yang tinggi, yakni ia ingin menyatukan seluruh kerajaan yang ada di Pulau Jawa yang berada dibawah komando Mataram. Sultan Agung beranggapan bahwa penghalang cita-citanya itu adalah VOC. Untuk memancing kemarahan VOC, Sultan Agung meminta kepada VOC untuk menerima kekuasaannya dan mengharuskan VOC menyerahkan upeti setiap tahun kepada Mataram sebagai tanda setia. Tentu saja permintaan Sultan Agung itu ditolak.

Sultan Agung memutuskan untuk menyerang kedudukan VOC di Batavia (Jayakarta). Serangan dilakukan sebanyak dua kali, yakni pada tahun 1628 dan tahun 1629. Kedua serangan itu gagal, karena semua gudang perbekalan yang disimpan Sultan Agung di sepanjang pesisir Priangan dibakar VOC. Menyadari kegagalan dalam melakukan perlawanan bersenjata, Mataram melancarkan blokade ekonomi untuk melumpuhkan VOC di Batavia. Perniagaan beras dimonopoli oleh negara dan tidak boleh diperdagangkan kepada VOC.

Setelah Sultan Agung wafat pada tahun 1645, kedudukan sultan digantikan oleh putranya yang bergelar Sunan Amangkurat I.Sunan Amangkurat dalam menjalankan politik pemerintahannya melakukan kerja sama dengan VOC.  Pada tahun 1646 diadakan perjanjian bilateral antara Sunan Amangkurat I dan VOC. Isi perjanjian tersebut sangat merugikan Mataram. Adapun isi perjanjian itu di antaranya sebagai berikut.
  • Mataram mengakui kedudukan/kekuasaan VOC di Batavia dan VOC mengakui kekuasaan Sunan Amangkurat I di Mataram.
  • Apabila ada utusan Mataram yang akan bepergian ke luar negeri akan diangkut oleh kapal-kapal VOC.
  • Kapal-kapal Kesultanan Mataram diperbolehkan melintasi Selat Malaka dengan izin VOC.
  • Mataram tidak diperkenakan mengadakan hubungan dagang dengan Maluku.
  • Apabila terjadi peperangan, masing-masing tidak akan saling membantu musuh.
Dengan ditandatanganinya perjanjian ini, Mataram mengakui kedaulatan VOC.

d. Perlawanan Trunojoyo
Trunojoyo adalah Adipati Madura yang tidak menyukai kepemimpinan Sunan Amangkurat I yang memihak Belanda. Oleh karena ketidakpuasannya itu, Trunojoyo mengadakan pemberontakan yang dimulai dari Madura, terus ke Jawa Timur hingga ke daerah sekitar Jawa Tengah. Keraton Mataram berhasil diduduki dan Sunan Amangkurat I bersama putra mahkota melarikan diri. Oleh Trunojoyo semua harta dan barang pusaka keraton diangkut ke Kediri sebagai pusat perlawanan Trunojoyo.

Pelarian Sunan Amangkurat I bersama putranya bertujuan mencari bantuan VOC. Namun, dalam perjalanannya menuju Batavia, Sunan Amangkurat I meninggal dunia di Tegal Arum pada tahun 1677. Kemudian, ia diganti oleh putranya yang bergelar Sunan Amangkurat II. Dengan demikian, sejak tahun 1677 Kesultanan Mataram diperintah oleh Sunan Amangkurat II. Segera mengadakan perjanjian dengan VOC mau membantu memadamkan pemberontakan Trunojoyo. Isi perjanjian itu seperti berikut.
  • VOC bebas berdagang di mataram, dan bebas dari kewajiban membayar pajak pelabuhan.
  • Karawang dan sebagian daerah Priangan yang berada di bawah kekuasaan Mataram diserahkan kepada VOC. Adapun yang menjadi batas wilayah Mataram dangan VOC adalah Sungai Cimanuk.
  • Daerah Semarang dan sekitarnya diserahkan kepada VOC.
  • Semua daerah pantai utara Jawa diserahkan kepada VOC selama Sunan Amangkurat II belum melunasi biaya perang.
Atas bantuan VOC, akhirnya Sunan Amangkurat II berhasil memadamkan pemberontakan Trunojoyo tahun 1680. Setelah ibu kota Mataram dipindahkan dari Plered ke Kartasura.

e. Pemberontakan Untung Surapati
Pangeran Purbaya, putra kedua Sultan Ageng Tirtayasa ketika terjadi perang Banten
menyingkir ke daerah Priangan bersama para pengikutnya. Di Priangan mereka mengobarkan perlawanan kompeni dengan bantuan musuh-musuh kompeni yang berasal dari Makassar. Dalam berjuang melawan VOC, Pangeran Purbaya menjalankan taktik pura-pura. Ia mengirimkan kabar ke Batavia yang menyatakan bahwa dirinya bersedia berdamai dengan VOC.  Untuk melaksanakan perdamaian itu, VOC mengutus Surapati, didampingi oleh Bupati Sukapura dan Demang Timbanganten. Selain mengutus Surapati, VOC juga mengirimkan utusan seorang opsir Belanda yang pangkatnya lebih rendah dari Surapati. Oleh utusan itu, Surapati diperintahkan untuk tunduk. Tentu saja, Surapati merasa terhina, dan akhirnya Surapati menyerang laskar VOC hingga tunggang langgang. Surapati melarikan diri ke daerah Karawang, kemudian mengembara ke daerah Priangan. Atas perlawanan Surapati itu, VOC mengerahkan pasukannya untuk menangkap Surapati.

Surapati terus melanjutkan pengembaraannya hingga sampai ke Kartasura. Perginya Surapati ke Kartasura karena ia mendengar kabar, bahwa Sunan Amangkurat II berselisih dengan VOC. Di Mataram, Sunan Amangkurat II merasa berat dengan perjanjian yang dipaksakan dan ditandatangani oleh VOC. Ketika Untung Surapati datang ke Kartasura, Sunan Amangkurat II menerimanya dengan tangan terbuka dengan harapan dapat diajak bekerja sama menentang VOC.

VOC mengutus Kapten Tack beserta 150 anak buahnya. VOC meminta Sunan Amangkurat II agar menyerahkan Surapati, tetapi pasukan VOC ditumpas habis. Kapten Tack sendiri terbunuh dalam peristiwa itu. Untung Surapati menyadari bahwa VOC akan membalas kematian laskarnya. Untuk itu, ia menyingkir ke Pasuruan. Di sana ia diangkat sebagai Adipati Pasuruan dengan gelar Adipati Wiranegara. Tahun 1708, Sunan Amangkurat II meninggal, ia digantikan oleh putranya bernama Sunan Mas yang bergelar Sunan Amangkurat III yang bertahta dari tahun 1703-1708. Pergantian Sunan Amangkurat II oleh Sunan Mas ternyata tidak direstui pamannya sendiri, Pangeran Puger. Ia menginginkan dapat menggantikan kakaknya Sunan Amangkurat II menjadi sultan di Mataram.

Oleh karena Sunan Amangkurat III tetap menunjukkan ketidaksenangannya kepada VOC, dalam perikatan keluarga itu VOC memilih berpihak kepada Pangeran Pugar. Dengan sombongnya, pada tahun 1709, VOC menobatkan Pangeran Pugar menjadi Sultan Mataram dengan gelar Pakubuwono I yang berkuasa dari tahun 1705 sampai dengan tahun 1719, setelah terlebih dahulu Pangeran Pugar mengadakan perjanjian dengan VOC. Adapun isi perjanjian itu ialah sebagai berikut.
  • Seluruh daerah Priangan dan bagian timur Madura, serta Cirebon diserahkan kepada VOC
  • Sunan dibebaskan dari semua utang-utangnya terdahulu, dan sebagai gantinya sunan harus menyerahkan 800 koyan beras setiap tahunnya selama 25 tahun kepada VOC
  • VOC akan menempatkan pasukannya untuk melindungi Sunan
Sunan Amangkurat III yang dibantu oleh Untung Surapati akhirnya berperang dengan Pakubowono I. Sementara, Pakubuwono I dibantu oleh VOC. Dalam pertempuran itu, Untung Surapati meninggal. Perjuangan Untung Surapati selanjutnya diteruskan oleh kedua putranya hingga titik darah penghabisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar